Thursday, September 6, 2007

Value Pluralism: Upaya Mengoreksi Konsep Liberalisme

Oleh: Tantowi Anwari*

Dalam sejarah umat manusia terdapat tiga laku pemikiran untuk menyikapi konflik yang ditimbulkan oleh ketegangan antara kemajemukan, baik nilai, ide, budaya, agama, ras atau etnis dan sebagainya, dengan incommensurability, ke-tidak-dapat-dibandingkan atas keunikan masing-masing komunitas dan individu.

Pertama, subjectivist yang berasumsi bahwa karena setiap orang adalah unik, tak dapat disebandingkan atau ditakar dalam wadah yang tunggal, maka siapapun, sebagai subjek, berhak atas putusan hidupnya sendiri. Model macam ini cenderung tidak rasional lantaran membenarkan alasan apapun yang lahir dari batok kepala siapa saja tanpa ada batasan tertentu. Hal ini akan berujung pada relativisme, bahkan anarkisme. Artinya, konflik bukan malah diredam justru dipupuk menjadi sebuah keniscayaan yang terus membuncah.

Kedua, particularist mencoba menyiasati konflik dalam karut-marut nilai dengan merujuk pada konteks yang berakar pada situasi-situasi konkret yang kemudian menggerakkan rasioanalitas buat memilah satu putusan nilai atau norma partikular. Tetapi, persoalan timbul manakala nilai tertentu yang dipercaya dapat merajut hari esok yang lebih baik, serta-merta dianggap sebagai jawaban paling sahih di antara nilai-nilai lainnya yang berasal dari luar ataupun datang belakangan. Karena itu amalan seperti ini terjebak dalam tradisionalisme dan konservatisme. Sebab ia mungkin saja sanggup mengatasi konflik dan perbedaan di antara anggota dalam komunitasnya sendiri, tetapi kekukuhan dan fanatisme terhadap satu atau seperangkat nilai tertentu akan berimplikasi pada sikap tertutup dan intoleran terhadap nilai-nilai lainnya yang juga sangat mungkin memuat kebaikan dan kebenaran dalam sisi yang berbeda, bahkan lebih baru dan segar. Pergesekan antar-komunitas, budaya atau peradaban yang berbeda tak dapat terhindarkan.

Berikutnya, universalist, berupaya mengharmonisasikan pelbagai nilai yang berserak, saling bersebrangan ataupun berhadap-hadapan, ke dalam satu atau seperangkat nilai yang lebih unggul dan luhur, the ultimate value. Segenap nilai yang ada di tengah masyarakat atau dunia ini diseragamkan pada nilai atau tujuan tunggal yang bersifat universal, yang melampaui ruang dan zaman. Artinya, ia menegasi semesta perbedaan dan keunikan nilai, yang masing-masing menginternalisasi dalam setiap benak manusia, dengan meringkusnya pada satu nilai.Seluruh cacad yang melekat pada ketiga laku pemikiran di atas, yang mengerucut dalam jerat relativisme (akut) dan monisme, diantisipasi oleh Isaiah Berlin, filosof dan sejarawan pemikiran kelahiran Latvia, dengan gagasan value pluralism.

Gagasan ini, yang mengutuk relativisme, lantaran rentan memicu anarkisme nilai, dan monisme sebagai bibit dari otoritarianisme politik yang mengeras dalam totalitarianisme abad ke-20 yang menyebabkan bencana kemanusiaan paling mengerikan, harus dikemas lagi dengan wajah yang lebih mutakhir. Sehingga, value pluralism memberi pijakan terhadap konsep liberalisme yang sanggup melindungi sekaligus menjamin hak-hak dan kebebasan sipil, tanpa melahirkan bentuk-bentuk tekanan dan penindasan baru terhadap kebebasan lainnya – sebagaimana, menurut Berlin, kronis menjangkiti konsep liberalisme klasik, yang alih-alih merayakan kebebasan, hak dan kebebasan kalangan minoritas atau disadvantage, yang tidak diuntungkan oleh sistem ekonomi-politik yang ada, malah terenggut.

Untuk itu, kemasan baru value pluralism merekomendasikan sebuah tatanan yang dapat menjamin dan melindungi hak dan kebebasan warga dengan mendorong keserbaragaman nilai dan tujuan yang bertabur di tengah kehidupan manusia, seraya menepis upaya penyeragaman (monisme) serta laku politik yang didasarkan pada anggapan-anggapan sempit dan fanatik. Semua ini mutlak dibarengi dengan menampik setiap pendasaran tanpa batas (realtivisme) yang terlampau berlebih: posmodernisme. Namun begitu, tatanan tersebut menyaratkan suatu tindakan yang tetap mengakomodir pelbagai kebaikan (nilai) yang masuk akal, yang sempat tertahan dalam proses pengambilan keputusan bersama melalui mekanisme yang demokratis. Demikianlah suguhan cergas George Crowder, dosen senior Teori Politik di Flinders University, Adelaide, Australia, yang pernah mengajar di Amerika, Inggris dan Eropa Timur, dalam bukunya Liberalism and Value Pluralism.

* Penulis adalah peneliti Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), alumni Pondok Pesantren Maslakul Huda, PMH Putra, Kajen, Pati

No comments: