Thursday, September 6, 2007

Mengurai Benang Kusut Hubungan Agama dan Negara

Oleh: Sukron Hadi

Anggota Jaringan Islam Kampus (JARIK). Mahasiswa fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Jakarta. Bergiat di Forum Mahasiswa Ciputat)

Berhembusnya gagasan sekularisme, sebagai konsekuensi dari semangat Modernitas dunia Barat, ke dalam diskursus keislaman, telah menyita perhatian para intelektual Muslim. Silang pendapat di antara mereka yang pro dan kontra menambah daftra panjang perdebatan sekularisme di dunia Islam. Muhammad Abid Al-Jabiri merupakan salah seorang pemikir Arab kontemporer yang merasa perlu terlibat dalam alotnya diskursus ini.

Dengan gagasannya yang bernas, Al-Jabiri dalam bukunya Agama, Negara dan Penerapan Syari’ah, 2001 berusaha meluruskan pandangan-pandangan para intelektual Muslim perihal hubungan agama dan negara melalui telaah yang cermat terhadap al-Qur’an dan sejarah Islam. Menurut Al-Jabiri konsekuensi dari sekularisme yang ada di Eropa adalah pemisahan antara lembaga agama dan negara dengan membatasi wewenangnya masing-masing. Hal ini dirasa perlu oleh masyarakat Barat agar dalam menjalankankan peran dan fungsinya, agama dan negara tidak berbenturan satu sama lain.

Begitu pula dalam masyarakat Islam, agama sudah sepatutnya hanya menjadi masalah setiap individu. Sehingga, hubungan antara individu dengan Tuhannya terjadi secara langsung tanpa perantara lembaga dalam bentuk apapun. Karena itulah agama harus tetap dipisahkan dari hiruk-pikuk politik. Dalam pengertian bagaimana menghindari fungsionalisasi agama untuk tujuan-tujuan politik. Sebab, agama adalah mutlak dan permanen, sementara politik bersifat relatif dan selalu berubah. Politik digerakkan oleh kepentingan individu dan kelompok, sementara agama harus dibersihkan dari hal-hal seperti itu. Jika tidak, agama akan kehilangan substansi dan ruhnya. Kekhilafahan: Wujud Kekosongan Perundang-undangan
Sistem politik seperti apakah yang dapat dikategorikan sebagai islami dan sesuai dengan kondisi zaman kita? Apakah sistem politik yang islami tersebut mampu menjawab berbagai kebutuhan dan arah perkembangan sejarah?

Itulah pertanyaan mendasar yang harus dijawab secara jujur dan meyakinkan oleh umat Islam. Bagaimanapun juga, tidak ada satupun teks al-Qur’an dan Sunnah yang mengatur masalah pemerintahan. Pun Nabi Muhammad wafat dengan tidak menentukan siapa yang akan menggantikannya. Tidak pula beliau menjelaskan bagaimana cara penunujukan serta pembatasan wewenang dan masa jabatannya. Mengutip hadis Nabi: “kamu lebih tahu tentang urusan duniamu”. Untuk itulah Al-Jabiri berkesimpulan bahwa masalah ini diserahkan pada nalar dan ijtihad.

Pengalaman historis umat Islam yang terpenting dalam masalah pemerintahan adalah peristiwa politik yang menandai perubahan dari sistem khilafah menjadi kerajaan pada masa ahir kekhilafahan Utsman. Jika dicermati, pada dasarnya perubahan ini disebabkan oleh kekosongan perundang-undangan dalam sistem pemerintahan khilifah. Kekosongan inilah yang disingkap dengan jelas dan lugas oleh al-Jabiri. Menurut dia, pada sistem khilafah, terdapat tiga kekosongan utama. Pertama, tidak adanya penentuan metode tertentu yang diundangkan dalam memilih seorang khalifah. Kedua, tidak adanya batasan bagi masa jabatan khalifah. Ketiga, tidak adanya pembatasan wewenang khalifah. Karena tiga kekosongan ini, kemudian pecah kekacauan besar (al-fintnah al-kubro) dalam sejarah umat Islam, yang terjadi antara pengikut Ali dan Muawiyyah. Dari kekacauan besar yang diakibatkan tata kelola kekhilafahan, yang sejatinya merupakan bentuk pemerintahan yang lemah itu, berakibat pada beralihnya sistem kekhilafahan menjadi kerajaan.

Belajar dari lemahnya sistem khilafah islamiyah tersebut, Al-Jabiri merumuskan prinsip-prinsip “etika Islam” (al-khuluqiyah al-islamiyah) dalam pemerintahan, sebagai upaya untuk mengatasi tiga kekosongan tadi. Rumusan itu berupa etika yang selalu mengilhami pemikiran bebas dan membangkitkan harapan bagi perbaikan dan perubahan. Apakah itu? Pertama, mengadopsi unsur-unsur dasar etika Islam: musyawarah. Penentuan metode pelaksanaan musyawarah diejawantahkan melalui pemilu yang bebas dan demokratis, serta pembatasan wewenang dan masa jabatan kepala negara. Kedua, tanggung jawab dan pembagiannya dalam masyarakat. Yakni, pemerintahan yang dapat menjaga amanat dan memegang tanggung jawab sepenuhnya terhadap nasib seluruh masyarakat dari lapisan atas hingga paling bawah. Ketiga, sabda Nabi: “Kamu lebih mengetahui urusan-urusan duniamu”.

Ketiga unsur tersebut membentuk etika Islam dalam politik dan pemerintahan sekaligus masalah-masalah dunia lainnya yang tidak dijelaskan langsung dalam teks kitab suci. Selain itu, menurut Al-Jabiri, tidak ada satupun yang dapat menjustifikasi penolakan sebagian gerakan politik Islam terhadap sistem demokrasi modern. Sebab, dalam Islam, bentuk negara berkembang sesuai dengan masing-masing kondisi ruang dan waktu.
Penerapan Syari’at Islam
Kelompok-kelompok Islam fundamentalis di Indonesia begitu semangat mengkampanyekan penerapan syari’at Islam di negara kita. Kendati di beberapa daerah berhasil diterapkan, dengan pelbagai kontroversi yang mengiringinya, tetapi dalam tingkat negara tidak akan pernah terealisir. Hal ini dikarenakan berbenturan dengan cara pandang masyarakat yang berlatar belakang perbedaan etnis, agama dan budaya.

Para ahli ushul fiqh, yang termasuk di dalamnya asy-Syatibi, berpandangan bahwa syari’at sebenarnya dibuat untuk kemaslahatan manusia di dunia dan ahirat. Tujuan-tujuan syari’at tersebut tidak lebih dari tiga jenis, yaitu kemaslahatan elementer (dharuriyat), komplementer (hajjiyyat), dan suplementer (tahsiniyyat). Kemaslahatan elementer adalah yang utama yang menjadi pendasaran bagi yang komplementer dan suplementer.

Kemaslahatan elementer mereka batasi dengan lima hal: agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Lima hal ini disimpulkan secara induktif, bukan dari agama Islam saja, melainkan juga dengan melihat kepada realitas dan adat-istiadat dari berbagai agama dan syari’atnya. Menurut Al-Jabiri kemaslahatan elementer manusia pada saat ini hendajnya tidak terbatas pada pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta, melainkan mencakup selain yang lima ini. Hal-hal lain yang harus dimasukan adalah hak bagi kebebasan mengemukakan pendapat dan kebebasan afiliasi politik; hak memilih para penguasa dan mengganti mereka; hak mendapatkan pekerjaan, sandang, pangan dan papan; dan hak pendidikan dan pengobatan.

Persatuan bangsa dalam suatu negara, menurut Al-Jabiri, termasuk juga bagian dari kemaslahatan elementer (dharuriyat) bagi eksistensi nasionalisme warga negara. Jadi, jika syari’at Islam diberlakukan di Indonesia, dengan latar belakang warga negaranya yang tidak hanya memeluk agama Islam, serta konteks sosial dan budaya yang jauh berbeda dengan masa awal berdirinya khilafah islamiyah atau negara Islam pada masa sahabat dan tabi’in, maka syari’at Islam akan melenceng dari tujuan dasarnya, untuk kemaslahatan persatuan bangsa. Maka, pada hematnya, demi kemaslahatan bersama dan keutuhan bangsa ini, syari’at Islam tidak boleh dilegal-formalkan.

2 comments:

Divagame said...

Wah menerik nih artikel..jadi tahu tenteng Islam salam

Anonymous said...

* Pustaka Digital Al Kubro ini terilhami dari beberapa software program Pustaka atau Mausu’ah Digital yang kami dapatkan saat kami menunaikan Ibadah haji tahun 2006 yang lalu. Alhamdulillah kami berkesempatan mengkoleksi berbagai macam software tersebut, baik dalam bentuk CD, DVD ataupun eksternal Hardis. Dengan koleksi tersebut sesampainya ditanah air kami coba pelajari dan cermati, dan kesimpulannya, kami sangat berbahagia sekali karena kami telah mendapatkan gudang samudera ilmu yang amat berharga. Impian untuk memiliki perpustakaan lengkap tercapai sudah. Kami sempat mengkalkulasi jumlah kitab yang ada dalam software tersebut mencapai lebih dari 2500 judul yang terdiri lebih dari 20.000 jilid, Jika judul kitab dalam jumlah tersebut kita beli dalam versi cetaknya, kita butuh dana sekurang kurang 1 Milyar Rupiah.

* Berangkat dari yang tersebut diatas kami berkeinginan kuat kiranya software tersebut bisa di nikmati oleh kaum Muslimin Indonesia, akan tetapi yang menjadi kendala adalah factor bahasa yang tidak semua orang bisa bahasa Arab atau mereka yang bisa bahasa Arabpun belum tentu paham bahasa istilah computer dalam bahasa Arab. Akhirnya kendala tersebut bisa kami atasi dengan cara mengolah ulang interface software ke dalam bahasa Indonesia dan kadang kadang dicampur dengan bahasa Inggris karena tidak memungkinkan di Indonesiakan.



* Software program Pustaka ini dirancang dengan mode opensource sehingga sangat memungkinkan untuk dikembangkan pengguna menjadi pustaka pribadi yang dinamis dan variatif. Oleh karena itu dalam pola distribusi kami paketkan dengan training penggunaan yang insya Allah dengan cara tersebut pengguna bisa memanfaatkan software secara optimal dan maksimal.



* Bagi mereka yang sama sekali tidak paham bahasa Arab kami masukkan program instant translator yang sementara bisa dimanfaatkan dengan cara online link via google/translate. Insya Allah pada versi berikutnya akan kami usahakan secara offline dengan software khusus. Mohon doanya.